Satu Tekad, satu Harapan: Jauhari Tantowi dan Berjuta Gelombang Kebaikan dari Sekolah Pesisi Juang

Table of Contents

Jauhari Tantowi dan Sekolah Pesisi Juang

Di tepi laut Bintaro, ombak tak pernah berhenti datang, begitu pula harapan. Setiap gelombang membawa cerita baru dari anak-anak pesisir yang kini berani bermimpi lebih tinggi. 

Dan di tengah semua itu, Jauhari Tantowi tetap berdiri bukan hanya sebagai pahlawan, tapi sebagai pengingat, bahwa satu hati yang tulus bisa mengubah arah banyak kehidupan.

Saya terharu, sekaligus tergugah akan kisah Jauhari Tantowi, bagaimana perjalanannya mendirikan Sekolah Pesisi Juang membuat saya bahkan mungkin kita semua masyarakat Indonesia, tak punya alasan tak mengagumi perjalanannya.

Sekolah Pesisi Juang bukan lahir dari dana besar, melainkan dari keyakinan bahwa anak-anak nelayan berhak penuh punya masa depan yang mereka impikan. Dari tepian pantai sederhana di Kota Mataram, ia membuktikan bahwa pendidikan bukan milik mereka yang mampu, melainkan hak setiap anak yang mau belajar.

Lahir dan Besar Bersama Laut yang Menumbuhkan Harapan

Biodata jauhari tantowi

Bagi sebagian orang, laut adalah tempat mencari ikan. Tapi bagi Jauhari Tantowi, laut adalah tempat menanam mimpi. Dari pesisir Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, ia menyaksikan terlalu banyak anak berhenti sekolah karena kemiskinan dan keterbatasan.

Saat dunia sibuk menatap pembangunan di kota-kota besar, Jauhari justru menatap ke laut tempat di mana masa kecilnya tumbuh. Jauhari Tantowi lahir dan tumbuh di Ampenan, kawasan nelayan tua di pesisir barat Mataram.

Sekolah Pesisi Juang Sediakan Pendidikan Gratis

Ia hanya seorang pemuda 27 tahun. Ia bukan guru bersertifikat, bukan pejabat, bukan pula dermawan kaya raya. Ia hanyalah seorang anak pesisir yang menolak diam ketika melihat generasi setelahnya mulai kehilangan kesempatan untuk bermimpi.

Ayahnya, almarhum Trumarnoto, adalah warga pesisir asli, sedangkan ibunya, Sri Nurhayati, dikenal sebagai sosok ibu tangguh yang selalu mengajarkan anak-anaknya untuk tidak menyerah pada keadaan. Namun, kenyataan di sekelilingnya tidak semanis nasihat itu.

Sekolah Pesisi Juang di Mataram

Sejak kecil, Jauhari melihat banyak teman sebaya harus meninggalkan sekolah lebih awal. Bukan karena mereka malas belajar, tapi karena keadaan memaksa mereka berbuat demikian. Ketika pagi datang, sebagian anak seusianya sudah ikut melaut. Siang berganti sore, tak banyak yang kembali membawa harapan baru selain hasil tangkapan hari itu yang seringnya selalu seadanya.

Ia tahu, pendidikan adalah barang mewah di kampungnya. Tapi alih-alih menatap hidup dengan putus asa, ia justru menyalakan api kecil dalam hatinya, api yang kini menjadi nyala dan terang bagi anak-anak pesisir Ampenan.

Pandemi dan Titik Balik Sekolah Pesisir Juang

kondisi sekolah pesisi juang di tengah pandemi

Tahun 2020 menjadi masa sulit bagi banyak orang, begitupun dengan anak-anak di pesisir Bintaro. Pandemi COVID-19 membuat keadaan di segala aspek kehidupan kian berat termasuk pendidikan. Ketika sekolah-sekolah beralih ke sistem daring, anak-anak pesisir justru kehilangan akses belajar.

“Anak-anak harus menyewa ponsel Rp2.000 per jam hanya untuk ikut kelas online. Tak ada pendampingan belajar apalagi bimbingan dari orang tua karena mayoritas buta teknologi. Tak ada jaminan sinyal selalu stabil hingga banyak yang akhirnya menyerah, pasrah dan akhirnya mengalah untuk kalah,” kenang Jauhari.

Program yang Ada di Sekolah Pesisi Juang

Hari-hari itu membuat Jauhari gelisah. Ia menyaksikan teman-teman kecilnya tumbuh tanpa arah, bukan karena malas, tapi karena dunia terlalu cepat meninggalkan mereka. Ia sadar, ketimpangan bukan soal kemampuan, tapi kesempatan.

“Saya pikir, kalau bukan kita yang lahir dari pantai ini, siapa lagi yang mau memulai perubahan?” katanya pelan.

Lantas dari kegelisahan itu, lahirlah tekad dan dengan tujuh rekannya, Jauhari memutuskan untuk bertindak. Mereka membawa beberapa tikar, beberapa buku sumbangan, dan niat tulus yang lebih kuat dengan segala keterbatasan. Di tepi Pantai Bintaro, mereka membuka Sekolah Pesisi Juang, sekolah nonformal gratis bagi anak-anak nelayan.

tips menjadi relawan di sekolah pesisi juang

Tanpa gedung, tanpa papan tulis besar, mereka mengajar dan belajar di bawah langit. Anak-anak duduk bersila, menulis dan membaca dengan latar suara ombak.

Di tempat sederhana itu, belajar kembali menemukan maknanya, bukan sekadar mengejar nilai tinggi tapi menyalakan kembali cahaya di mata anak-anak pesisir yang beruntai harapan. “Kami tidak menunggu kesempatan datang, kami menciptakan kesempatan itu sendiri,” tegas Jauhari.

Sekolah Tanpa Tembok, Tapi Penuh Cinta

SATU Indonesia Awards 2025

Tanpa papan nama, tanpa bangku kayu, hanya tikar sederhana dan semangat besar. Di sanalah Sekolah Pesisi Juang lahir. Dengan beralas pasir dan beratap langit, Jauhari dan kawan-kawannya menggelar kegiatan belajar mengajar.

Setiap Senin hingga Kamis, anak-anak usia 4–6 tahun datang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Akhir pekan, giliran anak SD hingga SMA berkumpul untuk belajar bersama. Suara tawa mereka berpadu dengan angin laut, menjadikan pantai bukan lagi tempat berwisata semata, melainkan ruang belajar yang hidup.

“Kami bukan sekadar ruang belajar, kami adalah ruang tumbuh. Tempat anak-anak pesisir bermimpi, bermain, bertumbuh dan berani percaya diri,” ujar Jauhari.

anak-anak pesisir Ampenan

Di Sekolah Pesisi Juang, pendidikan bukan soal teori, melainkan pengalaman. Jauhari dan rekan-rekannya mengajar dengan pendekatan yang berbeda dari sekolah formal. Mulai dari bermain, mendongeng, menulis puisi dan mengenal alam sekitar. 

Tidak ada kurikulum, ana-anak belajar mengenal huruf dan angka, mengekspresikan diri lewat seni, serta dibiasakan hidup bersih dan mandiri. Anak-anak belajar bukan untuk takut pada nilai, tapi untuk mencintai prosesnya.

“Anak-anak pesisir tidak butuh kasihan, mereka butuh ruang untuk tumbuh, untuk tahu bahwa mimpi mereka sah untuk dikejar dan diwujudkan,” ujarnya tegas.

cara belajar secara tematik dan menyenangkan

Apa yang telah dilakukan Jauhari dan rekan-rekannya mewujudkan hasil, terbukti mereka yang dulu pemalu kini bisa bercerita di depan teman-temannya. Mereka yang dulu takut gagal kini berani mencoba hal baru. 

Di setiap langkah dari kaki-kaki kecil itu, tumbuh keyakinan bahwa pendidikan bisa hadir di mana saja, bahkan di pasir laut beriring suara ombak yang sederhana.

Hari demi hari, Sekolah Pesisi Juang lahir terus tumbuh, dari semangat bersama dan meski di awal tak ada sponsor besar dan tak ada sokongan pemerintah. Semua berjalan dengan modal empati. Buku berasal dari donasi, papan tulis hasil patungan, dan alat tulis dikumpulkan dari teman serta warga sekitar.

cara berdonasi ke sekolah pesisi juang

“Kita ini bukan orang kaya, tapi kita bisa kaya karena saling membantu,” kata Jauhari mengingat nasihat Mbah Nun.

Relawan menjadi nyawa utama sekolah ini. Lebih dari sepuluh relawan tetap datang setiap minggu, sebagian mahasiswa NTB, sebagian lain dari luar daerah. Mereka tak digaji, namun selalu pulang dengan hati penuh bahagia.

“Upah kami adalah tawa anak-anak dan melihat mereka berani membaca, menulis dan bercita-cita, itu cukup membuat kami ingin datang lagi minggu depan,” katanya.

Dari Semangat Gotong Royong, Lahir Program Inspiratif

Festival dongeng tahunan di Sekolah Pesisir Juang

Seiring waktu, Sekolah Pesisi Juang tak lagi hanya tempat belajar membaca dan berhitung. Ia menjelma menjadi gerakan sosial pendidikan yang menyeluruh.

Adapun beberapa program yang ada di Sekolah Pesisi Juang yaitu:

  • Kelas Belajar Pesisir= Ruang belajar gratis untuk anak-anak usia PAUD hingga SMP. Belajar dilakukan secara tematik dan menyenangkan dengan pendekatan alam, dongeng, dan permainan.
  • TK Pesisi Juang= Program pendidikan usia dini yang ramah anak dan berbasis komunitas. Kelas TK dibuka untuk anak-anak usia 4–6 tahun yang belum tersentuh pendidikan formal karena jarak, biaya, atau keterbatasan lainnya. Di sini anak-anak belajar sambil bermain, mengenal huruf dan angka, mengekspresikan diri lewat seni, serta dibiasakan hidup bersih dan mandiri.
  • Kakak Asuh–Adik Yatim= Program pendampingan untuk anak-anak yatim dan kurang mampu di komunitas. Setiap bulan mereka menerima bantuan alat tulis, sembako, dan motivasi lewat pertemuan khusus.
  • Literasi Pesisir= Menghidupkan budaya membaca dan menulis di lingkungan pesisir lewat pojok baca, kelas dongeng, dan tantangan menulis, anak-anak dilatih untuk menyukai kata dan imajinasi. Ada rak buku keliling juga kelas menulis cerita pendek hingga festival dongeng tahunan.
  • Kelas Alam dan Clean Up Pantai= Belajar dari alam sekitar dengan praktik langsung seperti menanam, membersihkan pantai, hingga membuat karya dari barang bekas. Diharapkan program yang juga terbuka untuk umum ini bisa membangun kesadaran lingkungan sejak dini.
  • Bioskop Rakyat= Ruang nonton bareng di pinggir pantai, terbuka untuk anak-anak dan warga. Film-film edukatif, dokumenter, animasi inspiratif, hingga cerita rakyat Nusantara yang ramah anak diputar setiap 2 minggu atau 1 bulan sekali. Setiap sesi jadi ajang berkumpul, diskusi ringan, dan berbagi tawa. Setelah film, anak-anak sering diajak menggambar atau menceritakan kembali kisah yang mereka tonton dan acara terbuka untuk umum.
  • Sembako untuk Masyarakat Pesisir= Program solidaritas pangan untuk keluarga nelayan dan warga prasejahtera. Donasi dibuka untuk publik, bantuan sembako berupa beras, minyak, telur, mie, dsb langsung diantar ke rumah-rumah mereka. Distribusi dilakukan rutin tiap 2–3 bulan.

Setiap kegiatan selalu diwarnai keceriaan dan rasa bangga karena bagi mereka, belajar bukan hanya soal akademik, tapi tentang tumbuh menjadi manusia yang peduli pada sesama dan lingkungan.

Selama tiga tahun, Sekolah Pesisi Juang juga harus berpindah-pindah tempat. Hingga pada 2023, sebuah keajaiban datang. Seorang donatur yang tersentuh perjuangan mereka memberikan sebuah rumah sederhana di Jl. Moh. Ruslan, Lingkungan Bintaro Jaya.

Cara Donasi Sembako untuk Masyarakat Pesisir

Rumah itu disulap menjadi Saung, ruang belajar permanen yang kini dipenuhi warna, tawa, dan cita-cita.

Di saung itu, anak-anak kembali punya ruang untuk bermimpi. Tak lagi belajar di bawah terik, tapi semangat mereka tetap penuh cahaya.

Bagi Jauhari, mendirikan sekolah bukanlah akhir perjuangannya. Ia masih memimpikan banyak hal. Ia berharap bisa memiliki lahan lebih luas agar bisa menampung lebih banyak anak, menghadirkan ambulans komunitas untuk warga nelayan, serta mengembangkan walking tour edukatif berbasis kearifan lokal.

“Kalau ekonomi masyarakat kuat maka anak-anak tak perlu berhenti sekolah karena memang tak bisa dipungkiri jika pendidikan dan kesejahteraan ekonomi tak bisa dipisahkan terlalu lama,” katanya.

Bersama Deru Ombak dari Pesisir Bintaro ke Panggung Nasional

Kegiatan mewarnai di sekolah pesisi juang

Perjuangan itu akhirnya terdengar hingga ke tingkat nasional. Tahun 2024, Jauhari Tantowi terpilih sebagai Peraih SATU Indonesia Astra Awards bidang Pendidikan. Dari lebih dari 8.000 peserta, ia menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia Timur yang membawa kisah anak-anak pesisir ke panggung nasional.

“Alhamdulillah, ini bukan tentang saya, tapi tentang anak-anak Pantai Bintaro. Tentang semangat warga pesisir yang tak pernah menyerah,” ujarnya sederhana.

Penghargaan itu menjadi bukti bahwa gerakan kecil dari pinggir laut bisa mengguncang kesadaran nasional. Bahwa pemuda daerah pun bisa menciptakan perubahan.

Harapan yang Tak Pernah Padam seperti Ombak yang Tak pernah Mati

Harapan anak-anak di Sekolah Pesisir Juang

Ketika ditanya apa yang membuatnya bertahan, Jauhari terdiam sejenak. “Mungkin kita tidak bisa menyelamatkan orangtua mereka, tapi kita bisa menyelamatkan anak-anak mereka,” katanya pelan.

Kalimat itu menggema lama, menyatu dengan suara ombak yang tak pernah berhenti. Karena dari ujung Mataram ini, seorang anak nelayan telah membuktikan bahwa perubahan bukan soal seberapa besar kekuasaan yang dimiliki, melainkan seberapa dalam kepedulian yang ditanam.

anak nelayan belajar mengenal huruf dan angka

Sekolah Pesisi Juang lahir dari keresahan, tumbuh dari cinta lalu hidup dan menyala karena harapan. Di tempat itu, anak-anak belajar bukan hanya membaca huruf, tapi membaca kehidupan. Mereka tak hanya belajar menghitung angka, tapi juga menghitung rasa syukur.

Dari tangan Jauhari Tantowi, lahir bukti bahwa dari tepian laut yang perkasa, seluruh masyarakat Indonesia, termasuk saya, belajar arti kata “juang” yang sesungguhnya yakni bertahan untuk bermimpi, sekalipun dunia berkata mustahil.

Jauhari Tantowi membuktikan bahwa harapan tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari tekad dan kepedulian. Dan selama masih ada orang sepertinya, gelombang kebaikan itu akan terus mengalir menyentuh harapan-harapan baru.

#APA2025-ODOP


Sumber Referensi

*Seluruh Gambar di akses tanpa perubahan pada 13 Oktober 2025 dari laman instagram.com/sekolah.pesisi.juang/

*Official Website Sekolah Pesisi Juang (https://sekolahpesisijuang.tanahjuang.com/ diakses 13 Oktober 2025)

*Munawwir, Sepma. 2021. Sekolah Pesisi Juang: Pendidikan Non-Formal Anak Pesisir [Jurnal Online] (https://journal2.um.ac.id/index.php/JPN/article/view/18649 diakses 13 Oktober 2025)

*Radar Lombok. 2025. Perjuangan Dari Gang Sempit Menuju Mimpi Besar (https://radarlombok.co.id/perjuangan-dari-gang-sempit-menuju-mimpi-besar.html diakses 13 Oktober 2025)


Posting Komentar